Rabu, 21 Januari 2009

Bagus Jeha dan TEATER DINASTI YOGYAKARTA

TIKUNGAN IBLIS
TIM JAKARTA
30-DESMBER-2008

Tikungan Iblis"
Menyoal Degradasi Nilai Kebangsaan

Jakarta- Perlu dekonstruksi pemikiran untuk bisa melihat secara lebih jernih tentang apa itu iblis. Mendengar kata iblis, konotasi yang pertama akan kita pikirkan pastilah suatu makhluk yang jahat. Jahatnya makhluk yang satu ini bukanlah karena dia senang melanggar perintah Allah, tetapi karena dia andal dalam memengaruhi manusia untuk melanggar perintah Allah.


Dalam pementasan drama berjudul Tikungan Iblis yang dimainkan Teater Dinasti di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta, Selasa (30/12), ada upaya mencoba memberikan sudut pandang yang lain tentang apa itu iblis.
"Perlu dekonstruksi pemikiran untuk bisa melihat tentang apa itu iblis," kata vokalis grup band Letto, Noe yang terlibat dalam penyusunan naskah drama Tikungan Iblis.
Bersama budayawan Emha Ainun Nadjib, Noe sampai melakukan penelitian tentang iblis. Berdasarkan tesis-tesis tentang iblis dari mereka berdualah maka kemudian tersusun naskah yang berhubungan dengan iblis untuk pementasan ini.
Namun, sebenarnya lakon berjudul Tikungan Iblis ini bukanlah semata-mata bercerita tentang iblis. "Lakonnya justru tentang Garuda, yang merupakan simbol bagi bangsa Indonesia," kata Toto Rahardjo, salah satu kontributor gagasan pementasan.


Garuda adalah simbol untuk suatu bangsa gagah perkasa, yang memimpin sepertiga dunia pada suatu masa sebelum Gajah Mada, bahkan mungkin jauh sebelum adanya Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad.
Bangsa ini mempunyai kemampuan teknologi eksternal, yang diimbangi juga dengan teknologi internal, yang membuat alam dan makhluk selain manusia bisa diperlakukan sebagai "partner sejarah."
Akibat dari berbagai proses, Garuda ini kemudian menjadi loyo, lapuk, mengerut, dan mengerdil, sehingga selanjutnya disebut sebagai "Emprit."
Karena kecil dan kerdil, Emprit ini pun kurang kuat menyangga beban, gila terhadap kebesaran, dan makin kurang percaya diri, sehingga salah satu wataknya yang terbangun adalah pandai berkelit, hobi memplesetkan, ahli melarikan diri, dan pakar dalam hal eskapisme, yang dengan mudah mencari kambing hitam bila terjadi masalah.
Dari setiap era sejarah Emprit ini, iblislah yang selalu dijadikan kambing hitam utama dari segala masalah. Pada saat ditimpa kemiskinan dan ketidakadilan, sebenarnya Emprit maunya menyalahkan Tuhan, namun karena tidak berani, maka iblis yang dikambinghitamkan.


Dari sinilah cerita berkembang tentang bagaimana isi hati iblis dalam posisi berabad-abad dikambinghitamkan, dituduh sebagai musuh Tuhan, dan didakwa bertanggung jawab atas setiap kebobrokan kelakuan umat manusia.
Manusia selalu berpikir bahwa untuk berbuat kejahatan seperti mencuri, korupsi, membunuh dan menipu diperlukan iblis untuk terlebih dahulu menggoda mereka.
Pada satu bagian, iblis berkata, "Kalian manusia tidak memerlukan iblis untuk rusak dan hancur. Itu cukup kalian dapatkan dengan bekal nafsu dan keserakahan orisinal kalian sendiri. Saya bukan tandingan kalian, dan sejak awal penciptaan, saya sudah berjanji tidak akan menyentuh para pengiman Tuhan yang hatinya ikhlas."
Dalam Gladi Resik yang digelar seusai acara konferensi pers, Teater Dinasti sudah tampil lengkap dengan kostum seperti yang akan mereka kenakan pada pertunjukan sesungguhnya.


Hadir juga Bobiet Santoso dan Kiai Kanjeng, yang bertugas mengiringi permainan teater dengan ilustrasi musik. Aktris dan penyanyi Novia Kolopaking menjadi salah satu pemain dramanya, bersama dengan aktor-aktor lain seperti Jemek, Joko Kamto, Novi Budianto, Seteng, dan sebagainya.
Bersamaan dengan permainan para aktor dan aktris, dimasukkan juga "insert-insert" secara animasi dan video, yang dapat dilihat sebagai latar belakang panggung. "Kami ingin agar teater ini tidak kaku dan tegang, melainkan menjadi satu penampilan kontemplatif yang rileks," kata Toto. (dwin gideon)


Ketika Iblis Pun Menyerah
(Harian Kompas)

Minggu, 4 Januari 2009 | 02:05 WIB

Ilham Khoiri

Siapa sebenarnya yang patut disalahkan atas segala kerusakan di muka bumi ini? Benarkah iblis sang penggoda patut dijadikan kambing hitam, atau sebenarnya manusia sendiri memang punya naluri berbuat jahat?

Berbagai pertanyaan itu muncul begitu menyaksikan pentas Teater Dinasti asal Yogyakarta dengan lakon terbaru, Tikungan Iblis, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (30/12/2008). Lakon serupa telah dipentaskan di Yogyakarta dan Surabaya. Naskah karya Emha Ainun Nadjib itu mengajak kita untuk memikirkan asal-usul kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan, iblis, dan kemerosotan peradaban manusia.

Alkisah, Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk unggul untuk disiapkan sebagai khalifah di muka bumi. Namun, setelah beranak-pinak, sejarah peradaban manusia justru diwarnai berbagai kejahatan, kerakusan, pembunuhan, kerusakan lingkungan, dan berbagai penyimpangan. Makhluk mulia itu pun merosot jadi tapel, bangsa rendah yang kehilangan derajat kemanusiaan.

Suatu ketika, iblis (diperankan Joko Kamto) datang mengunjungi satu kampung yang dihuni para tapel Nusantara. Iblis menenteng sangkar kecil yang dikatakan berisi burung garuda yang mengecil dan kehilangan kegagahan akibat terlalu lama dikurung. Tak terima lambang kebesaran bangsa dihina, para tapel menyalahkan iblis sebagai biang keladi atas kemerosotan itu.

Iblis menolak. Dia beradu argumentasi dengan sesepuh kampung, Prawito (Novi Budianto), dan tiga malaikat: Maula Hajarala (Fajar Suharno), Maula Hasarapala (Bambang Sosiawan), dan Maula Jabarala (Tertib Suratmo). Mereka menuduh makhluk dari api itu sengaja menjelma dalam berbagai rupa demi merongrong hati manusia.

Dengan lantang, iblis mengelak. Ditegaskan, dia tak punya kepentingan apa pun atas terjerumusnya manusia sampai jadi para tapel (diperankan secara karikatural antara lain oleh Jemek Supardi, Agung Gareng, dan Irfan). Kelakuannya selama ini mengingatkan agar manusia waspada pada benih kejahatan dalam dirinya dan tak jadi munafik.

Iblis justru mengaku sebagai aktor rahasia yang dititahkan Tuhan untuk memberi tantangan kepada manusia. Ketika sadar ternyata manusia menyukai kejahatan tanpa perlu digoda, dia pun menyerah. ”Tuhan, kehidupan manusia di bumi tak membutuhkan aku lagi. Tanpa iblis, nafsu manusia akan membuat bumi dan peradaban musnah.”

Naskah

Kekuatan Tikungan Iblis yang berdurasi sekitar 2,5 jam terletak pada naskah yang menyuguhkan dialog-dialog panjang yang menggugah. Adu argumentasi antara manusia, iblis, dan para malaikat merangsang renungan filosofis. Alasan-alasan dan kritik iblis malah membuka kesadaran, betapa manusia memang kerap bertindak konyol, penuh paradoks, dan lalai.

Lebih dari itu, naskah juga lincah menyindir berbagai persoalan sosial-politik aktual di negeri ini. Di tengah cerita soal tapel, misalnya, tiba-tiba saja muncul tayangan pada layar panggung berisi parodi atas SMS weton yang lagi marak di televisi. Lain kali, pemain bisa menyindir demokrasi yang giat diperjuangkan, tapi sebenarnya tak jelas betul juntrungannya.

Apa yang Emha ingin sampaikan dengan naskah itu? ”Saya mengajak kita semua untuk membuang kebiasaan membuat kambing hitam. Saya mengajak kita bertanya, siapa sebenarnya manusia Nusantara?” katanya seusai pentas.

Hanya saja, sebagaimana diungkapkan pengamat seni Wicaksono Adi, keunggulan naskah yang lebih mirip puisi percakapan panjang itu kurang didukung bangunan unsur dramatik seperti plot dan konflik. Seluruh rangkaian adegan di panggung tak membentuk satu struktur cerita yang kuat, runut, dan mudah ditangkap penonton. ”Tapi, mungkin saja pentas ingin menonjolkan isi dialog racikan khas Emha ketimbang perspektif lain,” katanya.

Memang, pentas akhirnya lebih mirip kolase berbagai cuplikan esai khas Emha yang menyentuh sekaligus sering melebar jauh dengan sentilan ke mana-mana. Setting panggung dan kostum pemain kurang tergarap maksimal turut memperlemah bangunan dramatik itu. Layar di belakang panggung yang potensial dimanfaatkan untuk menciptakan imaji-imaji surealis—katakanlah untuk menggambarkan penciptaan manusia—juga belum diolah sungguh-sungguh.

Agaknya bangunan dramatik yang menurun itu berhubungan dengan masa vakum Teater Dinasti yang sudah tak manggung selama 20-an tahun. ”Sudah lama tak main, membuat kami mencari-cari lagi format pentas yang pas. Penyutradaraan pakai pendekatan knock down. Kami berlatih sambil membongkar pasang bentuk pementasan yang pas,” kata Jujuk Prabowo yang menjadi sutradara bersama Fajar Suharno.


Pentas Teater Dinasti

Minggu, 24 Agustus 2008 | 15:54 WIB

TEMPO Interaktif, Yogyakarta:Setelah dua dekade vakum dari panggung pertunjukan, teater Dinasti kembali naik pentas. Melakonkan naskah “Tikungan Iblis” karya Emha Ainun Nadjib, teater Dinasti menangguk sukses besar selama dua hari pertunjukan, 22-23 Agustus 2008, di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.

Gedung petunjukan berkapasitas 1.200 orang nyaris tak mampu menampung penonton. Panitia sempat kalang kabut karena jumlah penonton untuk kelas festival (lesehan) melebihi kapasitas. Sebagian dari mereka akhirnya dipindah ke kelas VIP dengan tiket Rp 50.000. Penonton tetap tak beranjak dari tempat duduk meski pertunjukan berlangsung hampir satu jam.

Tikungan Iblis mengisahkan perjalanan eksistensi manusia dari awal penciptaan Adam hingga beranak-pinak dan membangun peradaban. Dalam perjalanan waktu, manusia gagal menjadi makhluk mulia seperti saat awal diciptakan. Manusia yang awalnya makhluk mulia, berubah menjadi tapel yakni manusia yang derajad kemanusiaannya telah merosot berkat kegigihan Iblis yang hadir dalam berbagai bentuk.

Ketidakmampuan mengangkat dirinya dari kondisi sebagai makhluk tapel ini juga yang membuat sebuah bangsa mengalami kemerosotan martabat. Padahal bangsa itu memiliki gen unggul sebagai Burung Garuda. Karena Garuda selalu dikurung oleh kekuatan menindas, maka burung itu tidak lagi memiliki kemampuan dasarnya untuk bisa terbang, menerkam dan berjuang.

Sosok Iblis diperankan dengan baik oleh pemain kawakan teater Dinasti, Joko Kamto. Beberapa pemain generasi awal teater Dinasti yang juga ikut tampil adalah Novi Budianto, Fajar Suharno, Untung Basuki, Tertib Suratno dan Jemek Supardi. ”Seperempat jumlah pemain adalah generasi awal teater Dinasti. Sisanya anak-anak muda generasi baru,” jelas Eko Nuryono, manajer produksi.

Pementasan Tikungan Iblis dipersiapkan selama empat bulan. Tiga bulan pertama para pemain berlatih tiga kali seminggu, pukul 15.00 sampai 20.00. Satu bulan menjelang pementasan, latihan yang selalu digelar di kediaman Emha Ainun Nadjib di kawasan Kadipiro ini ditingkatkan menjadi empat kali seminggu.














Tidak ada komentar: