Sabtu, 02 Februari 2008

PAGELARAN DRAMA KOLASAL HUT KOTA YOGYAKARTA KE 250 "Golong-gilig Trajumanggala"



(KOMPAS)
Pergelaran kolosal bertajuk Golong Gilig Trajumanggala
by HANGTUAH DIGITAL LIBRARY on 2006-10-05 01:09:54


Pagelaran Kolosal Tari “Golong Gilig”
Menggugah Semangat Warga Yogya Membangun Kota

Yogyakarta—Sebuah pentas tari kolosal yang melibatkan sekitar 300 orang dari berbagai bidang seni seperti seni tari, musik, seni rupa, pantomim, bahkan 25 di antaranya bisu dan tuli digelar di Alun-alun Utara Yogya, Sabtu (7/10) malam. Pentas ini merupakan puncak serangkaian acara menyambut hari jadi ke-250 Kota Yogya yang telah digelar sebelumnya.
Dengan mengambil setting di depan bangunan Pagelaran Keraton Yogya yang monumental, sebuah tarian kolosal yang berjudul “Golong Gilig Trajumanggala” digelar. Setting panggung yang berukuran raksasa yang di atasnya terdapat dua patung kuda bercula – mengingatkan Pegasus – dan juga patung 10 gajah menambah kemegahan bangunan Pagelaran yang memang sudah megah.
Ribuan warga Yogya yang datang dari berbagai pelosok dan duduk secara lesehan beralaskan tikar tampak menikmati tari kolosal tersebut. Bahkan, sebelumnya sebuah tarian yang merupakan sumbangan para seniman Korea juga menyemarakkan HUT Kota Yogya.
Menurut Knyut Y Kubro, sang sutradara, “Golong Gilig” secara harfiah memiliki makna kebulatan tekad dalam semangat kebersamaan, kerja sama pemimpin yang menyatu dengan rakyat. “Manunggaling Kawulo lan Gusti,” tuturnya.
Sedangkan “Trajumanggala” merupakan penggabungan dari kata “traju” bermakna keseimbangan, keselarasan, dan “manggala” berarti berkah, untung, selamat. Dengan kata lain berarti pemimpin. Dalam konteks luas, “Trajumanggala” berarti kebulatan tekad pemimpin dengan rakyat dalam semangat kebersamaan secara seimbang, selaras dengan kekuatan alam, kepemimpinan manusiawi dan mandiri.
Pementasan “Golong Gilig Trajumanggala” ini terasa pas, karena pada hari itu, tepat pada 7 Oktober 1756, Pangeran Mangkubumi yang kemudian setelah bertakhta bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I tepat membangun Yogya – menyusul adanya perjanjian Giyanti – yang kemudian disimbolkan dalam bentuk Tugu (golong gilig) – sebagaimana yang bisa kita lihat di perempatan Jl Mangkubumi, Yogya.
Betapa tidak, Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini tengah berada dalam titik nadir setelah dilanda gempa 27 Mei lalu. Ribuan jiwa melayang, ratusan ribu rumah porak poranda, bahkan ada pula bangunan bersejarah ikut ambruk. Tengok saja sebagian Candi Prambanan, bangunan Tamansari atau Bangsal Trajumas yang berada di kompleks Keraton Yogya juga ikut roboh. Sektor perekonomian rakyat juga sempat mengalami kelumpuhan.
Lantas? Memang, berbagai bantuan mengalir. Namun, ini tentu tak akan ada artinya jika tak ada semangat dari warga Yogya untuk bangkit. Berangkat dari pemikiran inilah sebuah tarian kolosal “Golong Gilig” yang naskahnya disusun oleh Otto Sukatno CR dan koreografernya ditangani Kuswarsantyo digelar bertepatan dengan HUT Kota Yogya untuk menggugah jiwa dan semangat warganya bangkit dari keterpurukan untuk membangun Yogya kembali, secara bahu-membahu dan manunggaling kawula lan gusti.
“Dengan kemanunggalan rakyat dan pemimpinnya ini diharapkan setiap orang yang bermukim di Yogya bisa merasa handarbeni dan hangrungkrebi,” ujar Indro Kimpling Suseno, Ketua Panitia HUT Kota Yogya ini.
Berpijak dari ini pula, menurut Kimpling, dalam membangun Yogya hendaknya dengan melihat masa lalu, mainstream warisan sejarah berikut dengan berbagai kearifan lokal mempertimbangkan serta memilah dan memilih langkah dan kebijakan yang sesuai.
Lebih dari itu, lanjut Kimpling, mengingat pembangunan Yogya sebagaimana harapan Pangeran Mangkubumi untuk kembali mempersatukan nusantara, maka setidaknya Yogya harus menjadi “poros” Indonesia. “Dari Yogya ini mestinya kita bisa memberi sumbangan untuk Indonesia yang lebih baik,” tegasnya. Amin.
(yuyuk sugarman)



Golong Gilig nan Megah

SUARA MERDEKA/SENIN-09-0KTOBER-2006

MERIAH dan megah. Itulah pergelaran seni drama, tari, dan musik (sendratasik) Golong Gilig Trajumanggala di Alun-alun Utara Yogyakarta, Sabtu (7/10) malam. Masyarakat Yogya dan sekitarnya tumplek bleg di jantung kota itu untuk menyaksikan pergelaran pemuncak peringatan HUT Ke-250 Kota Yogyakarta tersebut.

Aksi 400 seniman itu diharapkan membangkitkan kembali semangat masyarakat setelah dilanda gempa 5,9 Skala Richter pada 27 Mei silam. Dikisahkan, dari Ambarketawang, Gamping, Pangeran Mangkubumi hendak mendirikan Kota Yogyakarta. Dalam adegan itu digambarkan betapa tingkat gotong royong masyarakat cukup tinggi. Mereka bekerja tanpa pamrih.

Sementara itu, Belanda membuat Gedung Residen (sekarang Istana Negara Gedung Agung) dan Beteng Vredeburg karena takut terhadap kekuatan rakyat Yogyakarta. Pertunjukan diakhiri dengan kebersatuan masyarakat membangun kembali, setelah kawasan itu hancur dilanda gempa.

Hidup dan Indah

Hampir semua adegan dibawakan para penari dengan cukup apik dan energik. Tak ayal, penonton pun bergeming selama hampir tiga jam pertunjukan. Pergelaran makin hidup dan indah karena semua dilukiskan di panggung bertata lampu warna-warni dengan latar Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Musik pengiring adalah harmoni indah orkestra Institut Seni Indonesia (ISI), Paduan Suara UGM, dan musik gejok lesung.

Usai sendratasik, penonton disuguhi pergelaran gamelan kolaborasi Saptoraharjo dan orang-orang asing yang disiarkan dari California, Amerika Serikat.(Sugiarto-53)




Tidak ada komentar: